Kini, tidak hanya wanita yang dapat melakukan tes kesuburan di rumah. Sebuah perangkat baru yang mampu menguji kesuburan pria mulai dipasarkan di Eropa. Alat tes kesuburan pria ini juga tengah dalam proses persetujuan Badan Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat untuk dipasarkan di sana.
Tespack sperma dengan nama komersial 'SpermCheck' berguna bagi pasangan yang berusaha hamil selama beberapa bulan namun belum siap mencari bantuan profesional. Dr. John C. Herr dari University of Virginia di Charlottesville, yang membantu mengembangkan tes ini, kepada MSNBC mengungkapkan bahwa alat itu membantu pria untuk menentukan kondisi fertilitas mereka.
Tes ovulasi pria dijual seharga $25 (sekitar Rp 225 ribu), lebih murah dibandingkan biaya analisis sperma di laboratorium yang mencapai $65 - $250 (sekitar Rp 586 ribu - 2,3 juta) tergantung di negara mana tes dilakukan.
SpermCheckUji fertilitas 'SpermCheck' dilakukan dengan menghitung jumlah sperma sesuai metode standar yang dilakukan di laboratorium terhadap 225 sampel air mani. Hasilnya, tingkat keakuratan mencapai 96 persen. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Human Reproduction.
Tes kesuburan pria akan memberitahu apakah orang tersebut memiliki jumlah sperma normal atau tidak. Jumlah sperma yang sehat sebesar 20 juta atau lebih per mililiter cairan semen. Tes juga mampu melihat jumlah sprema yang dianggap infertil, di bawah 5 juta sperma per mililiter air semen.
Menurut Herr, pada dasarnya alat ini memberitahukan seberapa subur si pengguna. Jika terdapat dua strip negatif setelah tes, artinya sang pria perlu mendapat perawatan medis karena infertilitas.
Temuan arkeologi tertua mengenai penghuni Jawa Barat ditemukan di Anyer dengan ditemukannya budaya logam perunggu dan besi dari sebelum milenium pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman Buni (Bekasi kuno) dapat ditemukan merentang dari Anyer sampai Cirebon.
Jawa Barat pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (yang digunkan dalam masa Palawa India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar menceritakan para raja Tarumanagara.
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara akibat serangan kerajaan Sriwijaya berdasarkan prasasti Kota Kapur (Tahun 686), kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Ciserayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932. Kerajaan sunda beribukota di Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor).
Pada abad ke-16, Kesultanan Demak tumbuh menjadi ancaman kepada Kerajaan Sunda. Pelabuhan Cirebon lepas dari Kerajaan Sunda atas bantuan Kesultanan Demak. Pelabuhan Cirebon kemudian menjadi Kesultanan Cirebon yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Pelabuhan Banten juga lepas ke tangan Kesultanan Cirebon dan kemudian menjadi Kesultanan Banten. Untuk menghadapi ancaman Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak, Sri baduga Maharaja, raja Sunda saat itu meminta putranya, Surawisesa untuk membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan bangsa Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Pada saat Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa, perjanjian pertahanan keamanan Sunda-Portugis, yang dikenal dengan Luso-Sundanese Treaty, ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya, Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keamanan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monumen batu yang disebut Padrao di tepi sungai Ciliwung di sekitar daerah Tugu.
Meskipun perjanjian pertahanan keamanan dengan Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon - Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau Paletehan, menyerang dan menaklukkan pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon - Demak berlangsung lima tahun sampai akhirnya pada tahun 1531 dibuat suatu perjanjian damai antara Prabu Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.
Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, dan akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.
Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.
Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.
Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa para wanita yang memiliki hormon seks estrogen dengan kadar cukup tinggi memiliki wajah yang lebih cantik.
Temuan ini membuat cerita mengenai evolusi menjadi masuk akal. Pria lebih tertarik pada wanita yang sedang subur. Demikian diungkapkan tim peneliti dari University of St Andrews dalam Jurnal Royal Society.
Dikatakan, kadar estrogen selama masa pubertas dapat memengaruhi penampilan terutama lewat tumbuhnya tulang dan tekstur kulit.
Namun ternyata topeng make up dapat membuat para wanita yang sebenarnya kurang menarik menjadi lebih menarik.
Tim yang terdiri dari pada psikolog di Laboratorium Persepsi ini telah memotret sekitar 59 muka wanita usia antara 18 hingga 25 tahun dan menganalisa kadar-kadar hormon seks mereka.
Kemudian mereka bertanya pada 30 relawan yang terdiri dari 15 laki-laki dan 15 perempuan untuk menilai wajah sesuai masing-masing wanita ini.
Baik pria dan wanita relawan ini menilai bahwa para wanita dengan kadar hormon yang tinggi ini justru lebih menarik secara fisik.
Wajah-wajah ini cenderung memiliki ciri klasik semisal mata dan bibir besar dan hidung serta dagu yang lebih kecil.
Bagaimanapun juga, saat wanita-wanita yang dipotret itu menggunakan make up, tampak ditemukan adanya hubungan antara estrogen dan tampilan menarik.
Para peneliti percaya bahwa make-up membuat tampilan berubah. Kepala peneliti, Miriam Law Smith, mengatakan: "Para wanita secara efektif dapat menunjukkan pada orang lain kesuburannya secara umum lewat wajah."
"Make-up dapat mengubah tampilan, dan jelas hal ini membantu mereka yang kurang menarik menjadi tampak menarik."
Sebagai contoh, make-up mata dapat digunakan untuk memperbesar mata dan foundation dapat membuat kulit tampak cerah.
"Temuan kami dapat menjelaskan kenapa para pria secara umum lebih menyukai wajah para wanita yang feminin.
Dalam term evolusi, masuk akal bagi pria untuk menyenangi wanita yang sedang subur - karenanya bayi mereka akan bertambah,"
Dr Tony Little, seorang dosen di School of Biological Sciences di University of Liverpool, mengatakan "Ini sebuah penelitian yang sangat menarik."
"Temuan ini masuk akal. Estrogen jelas terkait dengan kesuburan. Dan pasti bermanfaat memilih tipe-tipe tertentu wanita ini."
"Temuan mengenai make-up juga menarik. Implikasinya para wanita akan menerapkan strategi tipu daya ini. Mereka akan dapat memperdaya para pria dengan sistem visual yang disebut make-up."
Dia mengatakan, penelitiannya dengan para kolega Craig Roberts menunjukkan tampilan menarik para wanita juga bersifat fluktuatif melalui siklus menstruasi dan berpuncak pada hari-hari dimana para wanita sedang subur.
Many language learners regard speaking ability as the measure of knowing a language. These learners define fluency as the ability to converse with others, much more than the ability to read, write, or comprehend oral language. They regard speaking as the most important skill they can acquire, and they assess their progress in terms of their accomplishments in spoken communication.
Language learners need to recognize that speaking involves three areas of knowledge:
Mechanics (pronunciation, grammar, and vocabulary): Using the right words in the right order with the correct pronunciation
Functions (transaction and interaction): Knowing when clarity of message is essential (transaction/information exchange) and when precise understanding is not required (interaction/relationship building)
Social and cultural rules and norms (turn-taking, rate of speech, length of pauses between speakers, relative roles of participants): Understanding how to take into account who is speaking to whom, in what circumstances, about what, and for what reason.
In the communicative model of language teaching, instructors help their students develop this body of knowledge by providing authentic practice that prepares students for real-life communication situations. They help their students develop the ability to produce grammatically correct, logically connected sentences that are appropriate to specific contexts, and to do so using acceptable (that is, comprehensible) pronunciation.
Strategies for Developing Speaking Skills
Students often think that the ability to speak a language is the product of language learning, but speaking is also a crucial part of the language learning process. Effective instructors teach students speaking strategies -- using minimal responses, recognizing scripts, and using language to talk about language -- that they can use to help themselves expand their knowledge of the language and their confidence in using it. These instructors help students learn to speak so that the students can use speaking to learn.
1. Using minimal responses
Language learners who lack confidence in their ability to participate successfully in oral interaction often listen in silence while others do the talking. One way to encourage such learners to begin to participate is to help them build up a stock of minimal responses that they can use in different types of exchanges. Such responses can be especially useful for beginners.
Minimal responses are predictable, often idiomatic phrases that conversation participants use to indicate understanding, agreement, doubt, and other responses to what another speaker is saying. Having a stock of such responses enables a learner to focus on what the other participant is saying, without having to simultaneously plan a response.
2. Recognizing scripts
Some communication situations are associated with a predictable set of spoken exchanges -- a script. Greetings, apologies, compliments, invitations, and other functions that are influenced by social and cultural norms often follow patterns or scripts. So do the transactional exchanges involved in activities such as obtaining information and making a purchase. In these scripts, the relationship between a speaker's turn and the one that follows it can often be anticipated.
Instructors can help students develop speaking ability by making them aware of the scripts for different situations so that they can predict what they will hear and what they will need to say in response. Through interactive activities, instructors can give students practice in managing and varying the language that different scripts contain.
3. Using language to talk about language
Language learners are often too embarrassed or shy to say anything when they do not understand another speaker or when they realize that a conversation partner has not understood them. Instructors can help students overcome this reticence by assuring them that misunderstanding and the need for clarification can occur in any type of interaction, whatever the participants' language skill levels. Instructors can also give students strategies and phrases to use for clarification and comprehension check.
By encouraging students to use clarification phrases in class when misunderstanding occurs, and by responding positively when they do, instructors can create an authentic practice environment within the classroom itself. As they develop control of various clarification strategies, students will gain confidence in their ability to manage the various communication situations that they may encounter outside the classroom.